Kids, Parenting, Untitled

Kita Pernah Menjadi Seorang Anak

Hal yang paling berat menjadi ibu barangkali ketika anak-anak kita mulai dinilai yang tidak-tidak. Belum juga sembuh dari sakit setelah melahirkan, langsung ada komentar “Kok hidungnya pesek ya.” “Kok kulitnya hitam ya.” Dan bla bla bla lainnya yang terlihat dari fisiknya. Belum lagi jika dibanding-bandingkan dengan anak-anak sebelumnya atau kakak-kakaknya. “Wah cantikkan kakaknya.” “Nggak kayak kakaknya ya.” Yang lebih menjengkelkan lagi kalau sudah dibandingkan dengan anak orang lain. Euh, memangnya si ibu kawin dengan orang lain >_< 
https://pixabay.com/id/anak-orang-manusia-gadis-teddy-830725/
Belum lagi dengan era media sosial saat ini, maka semakin baperlah kita para ibu. Melihat ibu-ibu lain memosting foto anaknya di media sosial yang kelihatannya gembul, yang makannya lahap. Atau kalau sudah besaran dikit, saat ada yang posting sedang membangga-banggakan anaknya karena sudah hafal Qur’an, karena di sekolahnya selalu juara, sementara anak-anak kita masih biasa-biasa saja, duh rasanya menjadi jengkel sendiri. Nah lho? Jadi yang salah sebenarnya siapa?

Kita adalah makhluk sosial

Wajar saja, karena kita hidup di lingkungan sosial. Maka selama kita masih hidup, kita takkan pernah berhenti dari bayang-bayang pembicaraan orang lain. Dari komentar-komentar yang dilontarkan, yang terkadang tidak memandang bagaimana perasaan kita saat mendengar omongan yang sebenarnya tidak mengenakkan. 
Sama halnya dengan era media sosial. Seperti yang pernah saya katakan di sini, orang bebas memamerkan apa saja di media sosial, karena kita pun punya hak yang sama. Tapi tidak seharusnya lantas kita menyalahkan mereka atas apa yang mereka posting. Ya, kecuali kalau mereka memang sudah ikut campur masalah kita.

Bersyukur dan bersabar

Hal yang menjadikannya sulit adalah karena kita sebagai manusia punya perasaan. Wajar jika kita merasa sakit hati, merasa kecewa, merasa kesal dengan apa yang dilakukan orang lain. Tapi marilah kita pandang lagi anak-anak kita. Anak-anak yang sudah diamanahi kepada kita. Yang Allah percayakan untuk kita menjadi orang tuanya. 
Maka pikirkan saat kita justru lebih sibuk dengan komentar-komentar atau postingan orang lain, kita justru lupa untuk bersyukur. Bersyukur bahwa anak-anak kita juga memiliki kelebihan. Bersyukur bahwa anak-anak kita masih diberi kesehatan. Bersyukur saat anak-anak kita diberi kesempurnaan dengan anggota tubuh yang lengkap. 
Maka pikirkan saat kita justru lebih sibuk dengan komentar-komentar atau postingan orang lain, kita justru lupa untuk bersabar. Saking tertekannya kita karena pikiran negatif kita sendiri, kita jadi orang tua yang tidak sabaran dengan anak. Saat anak bertingkah, kita justru memukulnya. Saat anak tidak mau makan, kita justru memarahinya. Saat anak tidak berprestasi di sekolahnya, kita justru menghardiknya.

Padahal, masih ada di luaran sana, pasangan yang mendamba kehadiran seorang anak. Masih ada orang tua yang berjuang agar anaknya bisa sehat. Berjuang agar anaknya bisa berkembang sesuai pertumbuhan layaknya anak-anak yang lainnya. Berjuang untuk memberi makan dan pakaian anaknya yang baik. Berjuang agar anak-anaknya bisa mendapatkan pendidikan yang layak.

Karena kita pun pernah menjadi seorang anak

Kita pernah menjadi seorang anak. Yang barangkali selalu merasa biasa-biasa saja. Lantas apa yang kita harapkan selain orang tua kita menerima diri kita apa adanya, dalam artian tidak membanding-bandingkan kita secara fisik dengan anak-anak yang lainnya. Kita justru lebih berharap, orang tua selalu mendukung kita hingga kekurangan kita bisa tertutupi dengan kelebihan yang sebenarnya bisa diasah.

Kita juga berharap orang tua bersyukur dengan adanya kita sebagai anak yang diciptakan untuk mereka. Pun kita selalu berharap orang tua mau bersabar dengan segala tingkah kita.

Maka, masalah perasaan, kembali lagi pada diri kita masing-masing. Mendengarkan kata orang lain memang takkan ada habisnya. Mengatur orang untuk tidak berkomentar atau tidak memosting sesuatu yang membuat kita baper, mungkin hal yang sulit dilakukan. Itu sebabnya, barangkali kita tak punya pilihan lain. Selain menjadikan diri kita untuk menjadi orang tua yang lebih kuat, lebih sabar, dan lebih bersyukur.

#NotetoMySelf

12 thoughts on “Kita Pernah Menjadi Seorang Anak

  1. Apapun keadaan dan kondisi anak… kalo saya sih yg penting mereka sehat, bahagia, dan terbiasa dekat dengan Tuhannya. Wis lah itu saja. Orang mau ngomong apa juga bodo amat kalo saya?

  2. Jadi inget mba, diri sendiri selalu diingetin, kalau mengajar dan marah sama anak jangan karena anak kita ga bisa kayak anak lain. Ajar dan marah pada anak kita benar-benar ingin mendidik. Setiap anak punya keunikannya sendiri.

    Anakku juga pesek. Kalau ada yang bilang pesek aku selalu bales, mancung juga belum tentu ganteng hahhahaha. Bales bercanda aja.

    Kalau bukan kita yang lebih dulu menerima anak kita apa adanya, siapa lagi?? Jangan sampai mereka mencari penerimaan dari orang lain di luar keluarga intinya. T.T

  3. Setuju banget sama blogpost ini 🙂
    Daku berusaha nggak ngebedakan dan membandingkan anak-anak.
    Dan selalu mengajarkan anak-anak, kalau mereka dibilang atau dikomentari, kok beda sama kakak/adiknya, kok kurus sih, dan kok kok lainnya, anak-anak jawab, nggak apa ini kan aku, diriku sendiri 😀

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.