Home, Keluarga, Pernikahan

Satu Atap dengan Mertua atau Orang Tua, Belajar untuk Mengalah

Satu atap dengan mertua. Saya cuma merasakan saat lahiran Elis waktu itu. Saya tinggal selama 1 bulan di rumah mertua. Setelahnya saya dan suami hidup mandiri lagi. Saya memang berharap seperti ini, seterusnya kami bisa mandiri. Jangankan dengan mertua, satu atap dengan orang tua sendiri saja, saya belum tentu mau. Ya karena selain pengen mandiri, saya juga sudah merasa nyaman hidup dengan suami dan anak-anak saja seperti sekarang. Menurut saya, lebih banyak plus nya kalau hidup mandiri. Salah satunya kita nggak ketergantungan dengan orang tua termasuk dalam hal mengambil keputusan.

Ya, menjadi perantau benar-benar memberi saya pelajaran yang berharga. Saya merasakan sekali ditempa untuk menjadi pribadi yang mandiri. Walaupun terkadang ada sedih dan sulitnya jauh dari orang tua, tapi saya jadi tidak ketergantungan dengan mereka. Saya bebas menentukan langkah yang ingin saya dan suami jalankan. Saat bertemu mertua atau orang tua pun kami jadi lebih bisa menghargai mereka. Mungkin karena rasa rindu, alhasil hubungan menjadi lebih erat.

Baca: Sedihnya dan Hikmah Menjadi Perantau Setelah Menikah

Perlukah ada campur tangan orang tua?

Suatu hari pernah ada yang tanya ke saya, “Perlu nggak sih masalah suami istri ada campur tangan orang tua?” Kalau saya bilang sih, lihat dulu masalahnya apa ya. Kalau misal itu memang berhubungan langsung dengan orang tua, ya jelas harus ada campur tangan. Tapi kalau itu hanya masalah suami istri saja, ya tidak perlu. Cukup selesaikan berdua. Sekalipun saat itu kita satu atap dengan mertua atau orang tua. Namanya rumah tangga ya urusan suami istri saja. Sisanya tidak boleh ikut campur.

Saya lupa ini kata-kata siapa, yang jelas saya setuju dengan kalimatnya bahwa “Takkan bisa ada dua nakhkoda dalam satu kapal.” Yang ada hanya nakhkoda dan co-nakhkoda. Sama halnya dengan rumah tangga. Itu memang benar. Ketika kita berumah tangga, maka nakhkoda dan co-nakhkoda tidak bisa sama-sama memimpin. Harus salah satu saja.

Begitu pun di rumah tangga, keputusan terbesar seharusnya ada di suami. Sebab dialah pemimpin, dialah sang kepala sekolah, dialah sang penanggung jawab terbesar dalam kehidupan rumah tangga kita. Tapi jika misalnya kita ‘terpaksa’ harus satu atap dengan mertua atau orang tua, maka harus ditentukan, siapa yang akan jadi pemimpin. Sebab dua orang ini tidak mungkin berjalan beriringan. Harus ada yang mengalah dan dibuat kesepakatan. Sisanya hanya bisa menjadi peran pembantu.

Baca: Orang Tua Tidak Salah, Mereka Hanya Belum Paham

Belajar mengalah pada orang tua

Kita tahu orang tua selalu ingin yang terbaik untuk anaknya. Tapi jika sang anak sudah berumah tangga, maka kita tetap tidak bisa untuk terus-terusan mengandalkan dan ketergantungan dengan orang tua. Jika pun kenyataannya nanti orang tua ikut campur, mungkin kita yang harus memberi pengertian pelan-pelan. Atau pilihan kedua ya mengalah dulu. Seringkali orang tua hanya perlu pembuktian. Bukti bahwa kita tidak keliru dan jalan yang kita pilih memang tepat.

Sebaik-baik rumah tangga memang hidup mandiri. Tapi ada juga yang kondisinya belum memungkinkan untuk itu. Di sini barangkali kita diuji. Mungkin saat itu kita yang harus tahu diri. Bersikap sebagaimana layaknya kita hidup bersama mertua atau orang tua. Dan belajar mengalah semata agar tidak terjadi perdebatan yang tidak berarti. Karena tentu saja kita tetap ingin menjaga hubungan baik dengan orang tua atau mertua kan ?

Baca: Mengatasi Cemburu pada Mertua

Ayah Bunda ada yang punya pengalaman satu atap dengan mertua atau orang tua? Boleh sharing ya ?

Tagged , , , , ,

About Ade Delina Putri

Blogger, Bookish, Stay at Home Mom Keep smile, keep spirit, positive thinking ^^
View all posts by Ade Delina Putri →

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.