Proses melahirkan anak ketiga yang cukup panjang, membuat saya harus berdiam di rumah sakit lebih lama. Karena anak ketiga yang lahir dengan tubuh membiru, dan berat badan yang kurang sedikit dari berat badan bayi normal, membuatnya harus diobservasi lebih lama.
Padahal saya sedikit tidak tenang. Kasihan dengan ibu saya yang harus menunggui dua anak lebih lama sendirian. Meskipun Emir dan Elis sudah bisa mandiri, ternyata ada neneknya malah menjadi kesempatan mereka untuk bermanja-manja. Padahal tubuh neneknya sudah tidak sekuat dulu.
Begitu pulang dari rumah sakit pun, mereka masih nempel dengan neneknya. Karena saya yang masih harus menyesuaikan dengan bayi baru lahir. Padahal inginnya kalau adik tidur, saya bisa menemani dua kakaknya. Tapi yang ada saya keburu lelah.
Yah begitulah. Sebuah rumah jika ada pihak ketiga memang rawan konflik. Dalam satu keluarga saja, konflik sudah pasti terjadi. Apalagi jika ada tambahan. Ini yang saya akui tidak mudah.
Saya masih ketrigger jika ada masalah. Setelah lahiran, entah berapa kali saya menangis depan suami. Saya tidak tahu apa ini baby blues apa bukan. Karena saya masih happy saat mengurus anak ketiga. Tapi rasa lelah masih menghinggapi sekali-kali, apalagi jika dua kakaknya sudah mulai ‘mengganggu’ neneknya -_-
Lebih tenang karena ada tujuan
Beberapa hari sebelum kedatangan ibu, saya memang sudah mempersiapkan diri. Jadi saya menginginkan kalau ibu datang, saya sudah lebih tenang. Walaupun nggak sepenuhnya tenang juga ternyata haha.
Dan lagi, Alhamdulillah dari bulan-bulan kemarin saya masih punya banyak kerjaan, jadi kayaknya isu inner child juga pelan-pelan bisa melebur. Karena ada tujuan-tujuan yang harus saya capai.
Yah, saya semakin sadar, bahwa kita memang tidak bisa mengubah masa lalu. Yang kita punya ya CUMA hari ini. Dan alih-alih kita terus terjebak masa lalu, ada bagusnya kita nikmatin yang ada sekarang.
Lagi-lagi seperti yang dibilang psikolog saya, “Mbak Ade sudah di sini dan ada di saat ini. Mbak Ade berhak menentukan hidup Mbak Ade sendiri.”
Dan tahu nggak, apa yang psikolog saya bilang ketika saya cerita bahwa saya ingin sekali pergi jauh, atau malah pernah terpikir lebih baik saya tidak ada di dunia ini?
Beliau bilang, “Mbak Ade punya tujuan hidup nggak?”
Deggg. Padahal soal tujuan hidup ini sudah sering diingatkan suami. Ibaratnya, karena nggak punya tujuanlah, akhirnya hidup saya jadi terombang-ambing. Ditambah saya yang punya isu masa lalu, bikin saya malah terjebak terus di sana.
Jadi saya makin paham, kalau hidup kita nggak punya arah, kita akan kebingungan ingin ke mana diri kita sebenarnya. Bahkan dalam kasus saya, saya sendiri tidak tahu apa yang saya inginkan.
Memang parah sih.
Makanya saya bersyukur, saya benar-benar difasilitasi sekali oleh suami untuk dibolehkan ikut seminar ini itu. Bahkan pergi ke psikolog, psikiater, sampai belajar emotional healing seharian. Dari situ, saya mulai paham untuk belajar mengenali diri saya. Apa kelebihan saya. Sampai saya bisa menyadari, bahwa saya ini berharga.
Yang uwis ya uwis
Apapun yang saya lakukan, sudah sedemikian adanya. Kalau tidak ada kejadian-kejadian dan kesalahan-kesalahan di masa lalu, saya yakin, tidak akan bertumbuh seperti sekarang. Jadi kasarannya, yang uwis ya uwis. Yang sudah, ya sudah. Mau dikorek-korek seperti apa, toh kita tidak akan pernah bisa mengendalikan waktu.
Salah satunya adalah dengan menyadari pentingnya kita punya tujuan hidup. Yang kita punya selalu cuma hari ini. Dan kita bisa membangun harapan, ingin seperti apa kita di masa depan.
Saya tidak bilang bahwa diri saya sudah sepenuhnya tegak, karena saya merasa sekarang masih dalam proses. Tapi setidaknya, saya tidak lagi merasa bahwa hidup saya sia-sia. Apalagi kala melihat tiga anak, saya ingin terus ada untuk mereka sampai mereka dewasa.
Satu hal yang semakin saya yakini. Kita tidak terlahir menjadi ibu baru di kala lahir anak pertama saja. Tapi kita selalu terlahir menjadi ibu di setiap kita melahirkan anak.
*psst, backsound Bunda – Melly Goeslaw*