Saya tuh benar-benar tidak menyangka kalau semua emosi yang muncul di saat sudah menjadi orang tua ternyata sungguh mirip dengan emosi orang tua saya dulu. Dan inilah yang dinamakan inner child.
Saya sudah beberapa kali menulis inner child di blog ini. Tapi pada kenyataannya, ketika ada luka di dalam, tetap saja saya kebingungan mengelolanya.
Sungguh capek rasanya menghadapi diri sendiri. Rasa-rasanya tak ada masalah di rumah tangga saya selain diri saya sendiri yang “bermasalah”. Yang justru menjadi korban ialah suami dan anak-anak. Hiks.
Terus lari atau bertahan
Bukan sekali dua kali rasanya saya ingin pergi saja dari orang-orang terdekat. Biar mereka tidak tersakiti lagi karena “ulah” saya.
Tapi tidak, saya masih takut mati. Hmm, yang saya pikirkan hanyalah saya ingin pergi saja yang jauh. Ke tempat yang lebih tenang. Yang mana di tempat itu bisa mendidik saya menjadi lebih baik. Setelah baik, barulah saya akan kembali lagi.
Haha sungguh lucu. Padahal saya juga bingung mau pergi ke mana. Dan kalau dipikirkan, bukankah di tempat baru nanti pun saya akan bertemu dengan masalah?
Jadi kalau dipikir, bukankah sesungguhnya saya malah jadi pengecut karena itu artinya saya lari dari masalah?
Yang padahal jika lari dari masalah ini pun, bukan berarti saya tidak akan bertemu masalah-masalah lainnya.
Saya mulai sadar bahwa diri saya bermasalah
Lama kelamaan saya lelah sendiri. Alih-alih pergi, suami saya justru berkali-kali menahan saya. Entah mengapa beliau begitu keras kepala bahwa saya ini sebenarnya orang baik lho. Saya ini bisa menjadi pribadi yang kuat.
Jujur kasih sayang suami yang kuatlah yang benar-benar bikin saya bangkit perlahan-lahan.
Sampai puncaknya, tahun 2020 kemarin, saya mulai merasa harus ke psikiater. Saya sadar, bahwa tidak bisa saya seperti ini terus. Kesehatan mental sungguh penting. Saya ingin berubah menjadi Ade yang beda. Tidak lagi meledak-ledak saat emosi.
Lewat psikiater saya sampai diberi obat yang harus diminum rutin. Tapi ketika Maret 2020 pandemi menyerang, saya berhenti ke psikiater. Berhenti juga minum obat. Sebab setiap habis minum obat, entah kenapa dada saya berdegup kencang tidak enak. Daripada tidak nyaman, bismillah saya mulai berhenti minum obat.
Saya mulai belajar sendiri. Belajar tentang kesadaran dan emosi. Walau 2019 sebenarnya saya sudah ikut workshop healing dengan Mas Adjie Santosoputro.
Saya belajar menyadari nafas. Menyadari apapun yang saya lakukan. Meski tetap saja, ketika muncul trigger, emosi meledak itu masih tersisa.
Saya tak ingin menyalahkan orang tua
Past be the past. Itu yang selalu diucapkan suami ke saya. Iya mungkin dulu saat hamil saya, ibu sempat stress karena ada masalah yang mengganggunya. Mungkin dulu saya melihat cara ibu dan ayah marah ke anak-anaknya. Mungkin saya juga tidak sekali dua kali dipatahkan dulu. Tapi itu kan masa lalu.
Ada satu waktu Mas Adjie pernah mengingatkan di sebuah sesi kumpul alumni peserta workshop, “Bisa jadi kita tidak sepenuhnya benar, dan orang tua tak sepenuhnya salah.”
Dan bersama Ruang Pulih yang digagas Mbak Intan Maria Lie, saya mendapat penegasan lagi, bahwa “Jangan-jangan selama ini kitalah yang membuat semua drama itu.” Kita terus-terusan menempatkan diri kita di posisi korban, hingga akhirnya emosi negatif terus yang muncul. Yang padahal, ketika sudah dewasa, kitalah yang berhak memutuskan jalan hidup kita sendiri.
Ah jadi nyambung dengan yang dibilang psikolog saya, “Mbak Ade sekarang sudah di sini. Saat ini. Mbak Ade sudah punya anak, punya suami, jauh juga dari keluarga Mbak Ade. Mbak Ade bisa menentukan diri Mbak Ade sendiri sekarang. Sekarang tidak ada lagi yang mematahkan Mbak Ade. Tidak ada lagi yang marah. Mbak Ade bisa memutuskan sendiri Mbak Ade mau menjadi apa.”
Yap, bukankah saya ini memang berhak memutuskan jalan hidup saya sendiri? Toh tidak ada lagi orang yang menahan saya. Bahkan suami sekalipun mendukung saya ingin menjadi apa saja, asalkan saya bisa bahagia. Lantas apa lagi?
Dengan inner child therapy saya ingin menyudahi drama ini
Sekarang saya sedang ikut kelasinner child therapy bersama Mbak Intan dan dr. I Gusti Rai, SP.KJ dari Ruang Pulih. Tapi saya niatkan mencari akar masalah bukan lagi dalam rangka mengorek luka untuk menyalahkan orang tua. Saya harap bagian itu sudah selesai.
Saya hanya ingin menjadi diri saya sendiri. Diri yang beda, yang bisa mengendalikan emosi, yang bisa juga lembut, dan bisa menerima diri saya sendiri seutuhnya. Kalau kata Pak Prasetya M Barata, “Kedekatan dan kepercayaan kita kepada diri sendirilah yang akan memudahkan hidup kita.”
Mungkin ini masih awal. Tapi di sinilah saya akan mulai berkomitmen bahwa ke depan, seorang Ade sudah menjadi Ade yang beda. Ade yang bisa percaya kepada dirinya sendiri. Ade yang lebih bahagia. Baik dengan dirinya sendiri, maupun dengan keluarganya. Aamiin.
Dan saya rasa, saya tak perlu memaafkan orang tua saya. Sebab mereka tak sepenuhnya salah. Justru karena merekalah saya bisa menjadi pembelajar yang panjang seperti sekarang. Saya merasa mendapat didikan kehidupan yang luar biasa berarti bagi masa depan saya. Terima kasih Ayah, Ibu. Ade sayang Ayah dan Ibu.

Sedikit banyak apa yang Mbak Ade tulis ini relate dengan apa yang saya alami, terkait orang tua.
Saya termasuk orang yang tidak suka dengan perilaku bapak dan ibu saat mendidik kami yang hmm, well…cukup abusive, both physcally and mentally.
Karenanya saya berjanji pada diri sendiri, suatu hari nanti ketika saya menjadi orangtua, saya akan jadi orangtua yang lebih baik dari mereka.
Sadly, setelah menjadi orang tua, saya ternyata tidak lebih baik dari bapak dan ibu. Worse, as a matter of fact.
Mbak Ade ngalamin ini juga?
Iya Mas, ngalamin banget. Makanya saya pun jungkir balik menghadapi diri sendiri yang emosinya seringkali belum terkontrol hiks.
Ada innerchild bahagia, ada yg terluka. Nah, memang menjadi PR tersendiri utk mengasuh dan menyembuhkan innerchild kita yg terluka ya mba.. Terima kasih sdh berbagi pengalaman ini..
Sama-sama Mbak. Semoga dari cerita saya ada yang bisa diambil manfaatnya 🙂
“Kita terus-terusan menempatkan diri kita di posisi korban, hingga akhirnya emosi negatif terus yang muncul. Yang padahal, ketika sudah dewasa, kitalah yang berhak memutuskan jalan hidup kita sendiri”
Kalimat ini menampar saya. Pernah di posisi menyalahkan orangtua atas apa yang terjadi, tapi semakin ke sini semakin sadar, masa lalu nggak bisa diubah, dan berbaikan dengan orangtua justru menjadikan kita lebih baik. Meski apa yang terjadi di masa lalu tak bisa begitu saja dilupakan, setidaknya cara pandang kita melihatnya sudah berbeda.
Yes, karenas berdamai ternyata lebih melegakan kita ya 🙂
Terima kasih Mbak Ade. Tulisannya sarat makna dan menginspirasi saya untuk bisa lebih mengenalj innerchild dan menjadi pribadi lebih baik lagi.
Sama-sama Mbak 🙂
Masalah innerchild ini benar-benar mendalam kalau dipelajari ya Mbak Ade. Banyak orang yang (mungkin) masih memiliki masalah eh maksudku belum selesai penuntasannya dengan inner child mereka.
Semoga dimudahkan ya Mbak Ade, therapynya bersama Ruang Pulih.
Aamiin. Terima kasih Mbak Rani 🙂
mba ceritakan lengkap dong khusus untuk kelas inner child therapy bersama mba intan. ingin tahu juga seperti apa pembelajarannya, biayanya ataupun yang lainnya.
aku pernah beberapa kali ingin ikutan kelas raden prisya. gak tau deh itu mirip atau gak yah mba dengan kelas yang mba ikuti.
mba semoga inner child therapy yang diikuti akan segera dapat menyembuhkan luka yang mba alami yah dan terima kasih sudah mau berbagi ceritanya
Kelas ini disponsori oleh komunitas IIDN Mbak. Kalau saya dapat tawaran dari kelas SEOMOMS untuk ikut kelas ini 🙂
Aamiin. Terima kasih juga doanya Mbak 🙂
aku juga ikutan kelas ini nih. semoga setelah mengikuti kelas ini kita semua bisa merelakan inner child kita itu yaa dan menjadi pribadi yang lebih baik
Aamiin. Semoga kita dimudahkan ya Mbak 🙂
Sebagian besar orang tua jaman dulu membekaskan luka dalam pada anaknya. Ya, saya juga mengalami hal ini. Sampai sekarang masih teringat. Kadang ya, rasanya ingin protes, tapi ya gak bisa. Dan aku pun mulai menyadari pas jadi orang tua gini.
Sekarang saya sedang mencoba berdamai dengan inner child dulu. Semoga tak ada luka yang tersisa.
Aamiin. Semoga Allah mudahkan proses healing kita ya Mbak 🙂
Huhuhu inner child ini sebenarnya penting yaa. Kita juga mau berhenti siklus membuat trauma anak, tapi ya harus beres dulu dengan perasaan diri ini. Memang menjadi orang tua tidak mudah. Bismillah kuat yaa untuk menanggulangi segala masalah yang ada. Aamiin.
Aamiin. Iya Mbak. Kita healing dulu, agar gak nurun ke anak :’)
Aku yakin setiap manusia menyimpan “luka”nya masing-masing. Hanya ada yang mudah keluar, ada yang pandai sekali denial dan menyembunyikan.
Aku juga punya inner child yang kalau “kena” senggol, bisa meledak kapan aja.
Ada hal-hal yang aku sangat enggan memasukinya di ruang dalam hatiku, karena aku gak seberani kak Ade.
Semoga suatu saat nanti, aku memiliki keberanian seperti kak Ade untuk membuka ruangan tersebut dan memahaminya, bukan menghindari.
Aamiin. Gapapa Mbak, yang penting semua perasaannya diterima aja dulu 🙂